Friday, August 24, 2007

Friday, August 17, 2007

Tikar Simeulue

Dalam sebuah bincang-bincang dengan teman-teman NGOs, dengan gaya guyon mengemuka sebuah pendapat: Jika tikar Simeulue dan tikar dari daerah-daerah lain semakin sering digunakan masyarakat Indonesia, maka kita boleh berharap tidak akan mendengar istilah-istilah “rebutan kursi” untuk “kursi basah” atau “kursi kering” lagi. Sebab semuanya telah duduk di atas tikar!
Menurut salah seorang teman, yang menjadi masalah adalah ketika kita menerima tamu yang menggunakan sepatu, apalagi sepatunya menggunakan tali. Para tetamu harus belajar sabar melepas tali dan sepatunya setiap kali masuk ke rumah atau kantor. Itu membutuhkan waktu, dan salah-salah, pada saat buka tali sepatu handphone di kantong juga bisa jatuh…

Warisan Nenek Moyang yang Indah
Namun perkara hand phone yang jatuh tentu tidak menjadi pertimbangan utama ketika kita bergumul memikirkan tikar. Memang, pasti ada yang tidak begitu praktis jika menggunakan tikar, namun bukankah sebuah produk budaya berkait langsung dengan pengalaman dan kebutuhan dari masyarakat pemilik budaya tersebut. Artinya ada suatu kurun masa pada waktu dulu masyarakat kita membutuhkan dan merasa nyaman menggunakan tikar. Kebiasaan menggunakan tikar memang bukan budaya orang yang menggunakan sepatu. Tikar adalah produk dari budaya masyarakat yang melepaskan alas kaki jika masuk ke dalam rumah.
Namun, pernyataan di atas tidak bermaksud menyatakan bahwa produk budaya masyarakat yang satu tidak boleh digunakan oleh masyarakat dengan budaya yang lain. Atau produk budaya masa lalu pasti tidak pas dengan masyarakat masa kini. Semenjak manusia menyadari bahwa terdapat perbedaan diantara keseluruhan manusia, telah disadari pula bahwa masyarakat yang satu dapat berhubungan dan saling bertukar barang dengan masyarakat yang lainnya. Demikian pula, produk olah pikir dan tangan masa lalu bisa dihubungkan dengan masa kini. Antara yang satu dengan yang lainnya hanya memerlukan “jembatan” untuk saling menghubungkannya. Ketika tikar digunakan oleh orang yang bersepatu, maka mereka membutuhkan sebuah produk fisik budaya sebagai “jembatan” yakni tempat penyimpanan sepatu yang aman. Karena itu tak lah layak dan argumentatif jika ada yang berpendapat tak “elok” menggunakan tikar di rumah gedung indah modern bahkan di kantor gara-gara orang kebanyakan bersepatu.
Justru yang dapat dipandang tidak beralasan jika belakangan ini orang Simeulue harus meninggalkan tikar hanya karena mereka telah bersepatu. Yang benar adalah bahwa orang Simeulue tidak menggunakan tikar karena mereka telah menggunakan kursi yang dianggap lebih berkelas dan praktis.
Namun, mari kita renungi sejenak. Masyarakat Simeulue masih menjadikan tikar sebagai bagian dari ritual dan peradatan pesta perkawinan. Di Simeulue Barat, seorang anak gadis yang akan dinikahkan wajib membawa sepuluh lembar tikar ke perhelatan perkawinannya. Lalu, untuk apa tikar-tikar yang nantinya tidak akan digunakan tersebut ? Untuk apa tikar-tikar bermotif cantik dan indah itu, kalau hanya untuk digulung dan disimpan? Salah-salah, ia hanya akan pudar warnanya atau dikerat (digigit) tikus menjadi sarang. Renungan perlu dilakukan untuk menguji kembali perilaku kita ditengah-tengah berbagai produk budaya kapitalisme yang berhadapan dengan produk budaya warisan nenek moyang yang begitu indah seperti tikar tarawang, gapin/kapil, patanilam enam belas, patanilam delapan puluh dsb..

Menjual Tikar
Berdasarkan pengalaman beberapa teman menjual tikar di Sinabang, ternyata daya serap pasar sangat rendah. Para pengecer melaporkan bahwa ternyata pembeli tikar di Sinabang kebanyakan adalah anggota masyarakat luar Simeulue. Kebanyakan diantara mereka adalah tamu yang berkunjung dan para pekerja NGOs yang akan pulang ke kampung halamannya. Sekedar sebagai gambaran, rata-rata hasil penjualan tikar di Sinabang tidak mencapai jumlah 50 lembar per bulan. Ada yang berpendapat bahwa angka tersebut belum mewakili gambaran dari pembelian tikar oleh seluruh masyarakat yang tinggal dan hadir di Sinabang. Belum seluruhnya mereka tahu bahwa di kota ini ada pedagang pengecer yang menjual tikar Simeulue. Soalnya adalah jika publikasi jualan tikar sudah semakin baik, apakah orang Simeulue segera akan membeli tikar lagi ?
Yang ingin dikemukakan melalui tulisan ini adalah bahwa produk yang dihasilkan oleh pulau ini hendaknya terlebih dulu dicintai dan digunakan sendiri oleh masyarakat setempat. Sikap seperti ini diharapkan akan berkembang pada aspek lain dalam kehidupan, sehingga, sebelum mengkonsumsi barang lain orang Simeulue terlebih dulu mencari barang sendiri. Sebelum memutuskan mengkonsumsi beras dan sayur-sayuran dari daratan Sumatera, orang Simeulue terlebih dulu menanam padi dan sayur-sayuran. Singkatnya, orang Simeulue terlebih dulu memilih sikap “memproduksi” baru “mengkonsumsi”.
Kecintaan akan produk sendiri akan mendorong masyarakat pulau ini untuk gigih berusaha memperkenalkannya kepada masyarakat lain. Ulos masyarakat Batak menjadi terkenal bukan karena produsen ulos rajin membuat iklan, mengikuti pameran kerajinan tangan atau menjajakannya kesana-kemari, melainkan dikarenakan mereka mencintai dan menggunakannya. Para tetangga yang sering melihat mereka menggunakan ulos, lama-kelamaan akan bertanya tentang ulos dan akhirnya bahkan membeli ulos.
Langkah awal yang paling sederhana adalah jika masyarakat Simeulue kembali menggelar tikar ketika menerima tamu. Pemerintah daerah dapat menjadi pelopor dalam penggunaan kembali tikar. Pendopo Kantor Bupati yang sering digunakan sebagai tempat menerima tamu sebaiknya memiliki seperangkat tikar yang dapat digunakan ketika menerima tamu. Para tamu dengan senang hati akan duduk di atas tikar yang memang demikian indah motifnya. Perabot tambahan yang diperlukan untuk menambah kenyamanan tamu hanyalah rak untuk alas kaki/sepatu. Mereka dapat meletakkan alas kakinya pada rak yang telah tersedia sebelum duduk bersila di atas tikar.

Membangun Harga Diri
Setiap kelompok masyarakat memerlukan identitas diri untuk melangkah menuju masa depannya. Identitas diri menjadi sumber kebanggan untuk menyatakan diri ditengah pergaulan antar kelompok masyarakat yang demikian banyak di negara kita. Dengan identitas yang ada masyarakat Simeulue dapat membangun harga dirinya sambil membangun seluruh aspek kehidupan masyarakat pulau ini. Dari sedemikian banyak produk budaya masyarakat Simeulue, agaknya tikar pandan yang motifnya sedemikian beraneka ragam dapat dijadikan sebagai salah satu unsur kebanggaan masyarakat Simeulue. Berdasarkan catatan, motif tikar Simeulue ternyata tidak hanya puluhan melainkan lebih dari seratusan. Kesemuanya dapat dipadu dan dikombinasikan menjadi suatu pemandangan yang demikian eksotis.
Sejalan dengan perkembangan, penggunaannya tidak hanya sebagai alas duduk, namun juga dapat digunakan untuk berbagai macam penggunaan seperti hiasan dinding yang diberi pigura, wall paper untuk interior design, berbagai produk seni kriya, tas, dompet, selop/sandal dan bahkan pembungkus hand phone.
Membangun pulau Simeulue tentu tidak melulu menyangkut pembangunan fisik seperti gedung, jalan dan jembatan. Harga diri yang bersumber pada identitas diri yang dimiliki budaya masyarakat Simeulue juga perlu dibangun. Salah satunya adalah memperkenalkan tikar Simeulue !