Friday, August 24, 2007

Friday, August 17, 2007

Tikar Simeulue

Dalam sebuah bincang-bincang dengan teman-teman NGOs, dengan gaya guyon mengemuka sebuah pendapat: Jika tikar Simeulue dan tikar dari daerah-daerah lain semakin sering digunakan masyarakat Indonesia, maka kita boleh berharap tidak akan mendengar istilah-istilah “rebutan kursi” untuk “kursi basah” atau “kursi kering” lagi. Sebab semuanya telah duduk di atas tikar!
Menurut salah seorang teman, yang menjadi masalah adalah ketika kita menerima tamu yang menggunakan sepatu, apalagi sepatunya menggunakan tali. Para tetamu harus belajar sabar melepas tali dan sepatunya setiap kali masuk ke rumah atau kantor. Itu membutuhkan waktu, dan salah-salah, pada saat buka tali sepatu handphone di kantong juga bisa jatuh…

Warisan Nenek Moyang yang Indah
Namun perkara hand phone yang jatuh tentu tidak menjadi pertimbangan utama ketika kita bergumul memikirkan tikar. Memang, pasti ada yang tidak begitu praktis jika menggunakan tikar, namun bukankah sebuah produk budaya berkait langsung dengan pengalaman dan kebutuhan dari masyarakat pemilik budaya tersebut. Artinya ada suatu kurun masa pada waktu dulu masyarakat kita membutuhkan dan merasa nyaman menggunakan tikar. Kebiasaan menggunakan tikar memang bukan budaya orang yang menggunakan sepatu. Tikar adalah produk dari budaya masyarakat yang melepaskan alas kaki jika masuk ke dalam rumah.
Namun, pernyataan di atas tidak bermaksud menyatakan bahwa produk budaya masyarakat yang satu tidak boleh digunakan oleh masyarakat dengan budaya yang lain. Atau produk budaya masa lalu pasti tidak pas dengan masyarakat masa kini. Semenjak manusia menyadari bahwa terdapat perbedaan diantara keseluruhan manusia, telah disadari pula bahwa masyarakat yang satu dapat berhubungan dan saling bertukar barang dengan masyarakat yang lainnya. Demikian pula, produk olah pikir dan tangan masa lalu bisa dihubungkan dengan masa kini. Antara yang satu dengan yang lainnya hanya memerlukan “jembatan” untuk saling menghubungkannya. Ketika tikar digunakan oleh orang yang bersepatu, maka mereka membutuhkan sebuah produk fisik budaya sebagai “jembatan” yakni tempat penyimpanan sepatu yang aman. Karena itu tak lah layak dan argumentatif jika ada yang berpendapat tak “elok” menggunakan tikar di rumah gedung indah modern bahkan di kantor gara-gara orang kebanyakan bersepatu.
Justru yang dapat dipandang tidak beralasan jika belakangan ini orang Simeulue harus meninggalkan tikar hanya karena mereka telah bersepatu. Yang benar adalah bahwa orang Simeulue tidak menggunakan tikar karena mereka telah menggunakan kursi yang dianggap lebih berkelas dan praktis.
Namun, mari kita renungi sejenak. Masyarakat Simeulue masih menjadikan tikar sebagai bagian dari ritual dan peradatan pesta perkawinan. Di Simeulue Barat, seorang anak gadis yang akan dinikahkan wajib membawa sepuluh lembar tikar ke perhelatan perkawinannya. Lalu, untuk apa tikar-tikar yang nantinya tidak akan digunakan tersebut ? Untuk apa tikar-tikar bermotif cantik dan indah itu, kalau hanya untuk digulung dan disimpan? Salah-salah, ia hanya akan pudar warnanya atau dikerat (digigit) tikus menjadi sarang. Renungan perlu dilakukan untuk menguji kembali perilaku kita ditengah-tengah berbagai produk budaya kapitalisme yang berhadapan dengan produk budaya warisan nenek moyang yang begitu indah seperti tikar tarawang, gapin/kapil, patanilam enam belas, patanilam delapan puluh dsb..

Menjual Tikar
Berdasarkan pengalaman beberapa teman menjual tikar di Sinabang, ternyata daya serap pasar sangat rendah. Para pengecer melaporkan bahwa ternyata pembeli tikar di Sinabang kebanyakan adalah anggota masyarakat luar Simeulue. Kebanyakan diantara mereka adalah tamu yang berkunjung dan para pekerja NGOs yang akan pulang ke kampung halamannya. Sekedar sebagai gambaran, rata-rata hasil penjualan tikar di Sinabang tidak mencapai jumlah 50 lembar per bulan. Ada yang berpendapat bahwa angka tersebut belum mewakili gambaran dari pembelian tikar oleh seluruh masyarakat yang tinggal dan hadir di Sinabang. Belum seluruhnya mereka tahu bahwa di kota ini ada pedagang pengecer yang menjual tikar Simeulue. Soalnya adalah jika publikasi jualan tikar sudah semakin baik, apakah orang Simeulue segera akan membeli tikar lagi ?
Yang ingin dikemukakan melalui tulisan ini adalah bahwa produk yang dihasilkan oleh pulau ini hendaknya terlebih dulu dicintai dan digunakan sendiri oleh masyarakat setempat. Sikap seperti ini diharapkan akan berkembang pada aspek lain dalam kehidupan, sehingga, sebelum mengkonsumsi barang lain orang Simeulue terlebih dulu mencari barang sendiri. Sebelum memutuskan mengkonsumsi beras dan sayur-sayuran dari daratan Sumatera, orang Simeulue terlebih dulu menanam padi dan sayur-sayuran. Singkatnya, orang Simeulue terlebih dulu memilih sikap “memproduksi” baru “mengkonsumsi”.
Kecintaan akan produk sendiri akan mendorong masyarakat pulau ini untuk gigih berusaha memperkenalkannya kepada masyarakat lain. Ulos masyarakat Batak menjadi terkenal bukan karena produsen ulos rajin membuat iklan, mengikuti pameran kerajinan tangan atau menjajakannya kesana-kemari, melainkan dikarenakan mereka mencintai dan menggunakannya. Para tetangga yang sering melihat mereka menggunakan ulos, lama-kelamaan akan bertanya tentang ulos dan akhirnya bahkan membeli ulos.
Langkah awal yang paling sederhana adalah jika masyarakat Simeulue kembali menggelar tikar ketika menerima tamu. Pemerintah daerah dapat menjadi pelopor dalam penggunaan kembali tikar. Pendopo Kantor Bupati yang sering digunakan sebagai tempat menerima tamu sebaiknya memiliki seperangkat tikar yang dapat digunakan ketika menerima tamu. Para tamu dengan senang hati akan duduk di atas tikar yang memang demikian indah motifnya. Perabot tambahan yang diperlukan untuk menambah kenyamanan tamu hanyalah rak untuk alas kaki/sepatu. Mereka dapat meletakkan alas kakinya pada rak yang telah tersedia sebelum duduk bersila di atas tikar.

Membangun Harga Diri
Setiap kelompok masyarakat memerlukan identitas diri untuk melangkah menuju masa depannya. Identitas diri menjadi sumber kebanggan untuk menyatakan diri ditengah pergaulan antar kelompok masyarakat yang demikian banyak di negara kita. Dengan identitas yang ada masyarakat Simeulue dapat membangun harga dirinya sambil membangun seluruh aspek kehidupan masyarakat pulau ini. Dari sedemikian banyak produk budaya masyarakat Simeulue, agaknya tikar pandan yang motifnya sedemikian beraneka ragam dapat dijadikan sebagai salah satu unsur kebanggaan masyarakat Simeulue. Berdasarkan catatan, motif tikar Simeulue ternyata tidak hanya puluhan melainkan lebih dari seratusan. Kesemuanya dapat dipadu dan dikombinasikan menjadi suatu pemandangan yang demikian eksotis.
Sejalan dengan perkembangan, penggunaannya tidak hanya sebagai alas duduk, namun juga dapat digunakan untuk berbagai macam penggunaan seperti hiasan dinding yang diberi pigura, wall paper untuk interior design, berbagai produk seni kriya, tas, dompet, selop/sandal dan bahkan pembungkus hand phone.
Membangun pulau Simeulue tentu tidak melulu menyangkut pembangunan fisik seperti gedung, jalan dan jembatan. Harga diri yang bersumber pada identitas diri yang dimiliki budaya masyarakat Simeulue juga perlu dibangun. Salah satunya adalah memperkenalkan tikar Simeulue !

Monday, July 2, 2007

Potensi Pariwisata Pulau Simeulue Sulit Diekploitasi jika...

Adakah potensi pariwisata di Pulau Simeulue ? Semua orang pasti menjawab: “Ya ada”. Namun, ketika ditanyakan, dapatkah potensi tersebut dieksploitasi untuk mendongkrak ekonomi pulau ini, maka jawabannya adalah “sulit dikembangkan”. Ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan, yakni menyangkut jarak, persepsi tentang pariwisata dan kebijakan (policies).
Tulisan ini tidak bermaksud “membunuh” semangat orang maupun pemerintah dalam membangun pariwisata Simeulue. Melainkan untuk mengingatkan segenap pihak bahwa demikian banyak kendala-kendala yang harus dihadapi ketika berencana untuk mengembangkan industri wisata di pulau ini. Kendala-kendala yang dimaksud relatif lebih berat dibandingkan daerah lain, sehingga dibutuhkan energi dan komitmen lebih besar untuk menghadapinya. Jika energi dan komitmen tidak cukup, maka lebih baik buang jauh-jauh niat untuk membangun pariwisata di Simeulue. Bahkan, jangan-jangan, Dinas Pariwisata pun lebih baik dilebur dengan dinas lain untuk menjalankan tugas yang lebih bertautan dengan kepentingan masyarakat.

Jarak
Pulau Simeulue merupakan pulau terpencil. Ini suatu fakta yang tidak perlu diperdebatkan. Kabupaten Aceh Barat, ketika masih memiliki Pulau Simeulue sebagai bagian wilayahnya kemungkinan besar tidak memiliki energi yang cukup untuk mengatasi jarak geografis ini sehingga cenderung membiarkan Simeulue sebagai pulau terbelakang yang minus infrastruktur. Untunglah, ada sekelompok orang yang berani memperjuangkan pulau ini menjadi sebuah Kabupaten.
Jika berangkat dari Medan menuju Simeulue maka waktu yang dibutuhkan untuk melampaui laut lebih lama daripada daratan. Disamping itu, laut yang memisahkan daratan Sumatera dengan Simeulue sering memiliki gelombang besar sehingga sulit dilayari. Salah satu penyebab mengapa kelangkaan BBM sering terjadi adalah karena kapal pengangkut BBM tidak mampu melewati gelombang laut yang besar tersebut.
Artinya, jika Simeulue dijadikan sebagai tujuan wisata oleh pelancong maka angkutan yang paling lancar dan nyaman adalah pesawat terbang. Ini pun masih dengan catatan cuaca tidak buruk ! Dapat dibayangkan, betapa untuk menuju pulau ini saja orang-orang harus terlebih dulu bolak-balik berpikir tentang angkutan yang harus digunakan dengan segala pertimbangan menyangkut uang dan waktu.

Persepsi tentang Pariwisata
Ingat pariwisata, maka tak dapat dihindari orang akan tergoda dengan tumpukan dollar yang digunakan pelancong asing dalam transaksi. Setiap pelaku industri wisata masih lebih melirik pelancong asing ketimbang domestik. Maka tantangan yang dihadapi adalah menyangkut kemampuan memberikan fasilitas dan pelayanan kepada pelancong mancanegara yang seleranya tentu berbeda dengan kebiasaan sehari-hari orang Simeulue dalam memberikan pelayanan publik. Kemampuan memberikan pelayanan adalah tindakan. Sedangkan tindakan adalah produk dari cara berfikir atau sikap yang sangat erat kaitannya dengan persepsi.
Soalnya adalah bagaimanakah persepsi rata-rata masyarakat Simeulue tentang pariwisata ? Pentingkah pariwisata menurut pendapat, perasaan dan pikiran mereka ? Adakah kesadaran pada masyarakat wilayah ini tentang kemampuan industri pariwisata dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan merangsang perubahan ? Tidakkah masyarakat justru sangat kuatir terhadap kehadiran orang-orang luar yang kemungkinan mempengaruhi tata laku hidup masyarakat pulau ini ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diajukan untuk direnungi sebelum diambil langkah-langkah untuk membangun sektor pariwisata. Ketika rata-rata masyarakat Simeulue memang bersikap positif terhadap kegiatan pariwisata, maka tindakan selanjutnya adalah menyusun kebijakan pemerintahan dalam membangun sektor pariwisata. Berdasarkan kebijakan yang dimaksud perlu disusun perencanaan strategik pembangunan pariwisata pulau ini. Pemerintah hendaknya menggugah partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut dengan pertimbangan bahwa pelaku-pelaku kegiatan wisata akhirnya adalah masyarakat juga.
Dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana masyarakat harus melihat kegiatan wisata sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rasa kuatir yang berlebihan tentang kemungkinan pengaruh negatif pariwisata terhadap tata laku masyarakat perlu ditepis dengan mengedepankan kegiatan penyadaran dan pembinaan wisata terhadap masyarakat. Masyarakat Simeulue tidak perlu menutupi segala kelebihan dan kebaikan yang mereka miliki. Sebaliknya, harus membuka diri dengan menunjukkan segala nilai-nilai keindahan dan kebajikan yang terkandung dalam dirinya terhadap masyarakat pelancong. Simeulue yang ramah dan aman tanpa pencoleng perlu ditunjukkan kepada setiap pengunjung. Ketaatan pada nilai-nilai agama sambil menunjukkan rasa persaudaraan dengan pendatang pasti dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat.

Kebijakan Pemerintah
Mari kita telaah bersama. Apakah pemerintah daerah telah memiliki kebijakan tertentu dalam mendongkrak sektor pariwisata pulau Simeulue ? Berapa banyakkah dana yang disisihkan pemerintah untuk membenahi dan membina spot wisata dan atraksi budaya yang dimiliki ?
Jika semuanya belum dimiliki, atau belum cukup dimiliki maka itu menjadi pertanda bahwa masyarakat melalui wakil-wakilnya sudah saatnya mendesak pemerintah untuk memberikan perhatian yang cukup terhadap sektor yang tidak pernah dilewatkan gegitu saja oleh pemerintah daerah lain ini. Dukungan awal yang dapat diberikan oleh masyarakat adalah membenahi lingkungannya menjadi wilayah-wilayah yang bersih, indah dan aman bagi para pendatang.
Pemerintah juga perlu memberikan dukungan berupa kemudahan bagi setiap anggota yang berniat mengembangkan usahanya pada sektor pariwisata. Wisata pantai, bersilancar, jungle trip, dan kegiatan berburu binatang pengganggu tanaman rakyat agaknya dapat dipertimbangkan sebagai item wisata yang segera perlu dikembangkan.
Dengan beberapa uraian di atas, tampaklah tantangan-tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan pariwisata Simeulue. Itu pula menjadi sebab mengapa pariwisata Simeulue sulit dieksploitasi jika tidak ada keinginan dan komitmen pada semua pihak, pemerintah daerah maupun anggota masyarakat.
Kalau keinginan dan komitmen telah dimiliki maka tentu perlu dimulai tindakan-tindakan yang diperlukan. Dan setelah itu, segera saja segenap pelaku bisnis wisata mulai berpromosi kunjungan wisata ke pulau terpencil yang indah dan aman, tempat bersahaja dan tentram dari segala kesibukan serta penyakit kota-kota besar. Kita semua segera dapat berujar kepada setiap kenalan: Datanglah ke Simeulue, perawan di tengah Samudera Hindia...

Bilakah Cengkeh Bersemi Lagi?

Pada tahun 1970an, Pulau Simeulue sempat terkenal sebagai pulau cengkeh. Tanaman yang pernah disebut sebagai ”emas hijau” itu memang tumbuh menggerombol di hampir seluruh wilayah pulau ini dan sebagian lagi di pulau-pulau kecil sekitarnya. Hingga kini, tanaman tersebut masih tetap tumbuh dan menua menjadi peninggalan sebuah zaman keemasan..
Namun, sepotong pertanyaan akan mengusik benak setiap orang yang baru menginjakkan kaki di pulau ini: Mengapa cengkeh-cengkeh itu kini seolah-olah ditinggalkan dan tidak terurus layaknya laksana hutan perawan yang tak pernah disentuh ? Jawabannya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nasib kebun-kebun cengkeh rakyat di seluruh penjuru tanah air. Bahwa sejak tahun 1984 nasib komoditi pertanian cengkeh mengalami bencana fluktuasi harga yang sangat tajam. Ketika harga naik, harga bisa sangat menguntungkan. Namun ketika harga turun, upah buruh pemetik pun tidak dapat dilunasi oleh hasil penjualan.
Kini tanaman cengkeh di pulau Simeulue adalah tanaman renta yang tertatih-tatih seiring dengan usianya dan hanya menghasilkan buah yang jauh dari yang diharapkan. Umumnya, tanaman cengkeh yang ada saat ini hanya dapat dipanen sekali dalam dua tahun. Bahkan, ada diantaranya hanya dipanen sekali dalam lima tahun.
Masyarakat terlihat tidak begitu bergairah untuk melakukan peremajaan tanaman cengkeh. Mereka juga tampaknya tidak terlalu bergairah untuk menebang tanaman itu dan menggantinya dengan tanaman lain. Apakah ini menjadi sebuah masalah khusus dalam cerita pembangunan pedesaan di Indonesia ?

Generasi Manja
Sesuatu yang perlu dicermati, bahwa cengkeh telah memberikan sekeping potongan warna pada mozaik masyarakat Simeulue. Tanaman itu ditanam berkat kegigihan penghuni pulau ini satu generasi sebelumnya. Ditanam tidak hanya di tanah datar yang mudah dijangkau, tetapi hingga ke lembah dan gunung-gunung yang harus menembus semak dan hutan. Dengan harga yang demikian mahal pada masa itu, tanaman ini benar-benar telah memanjakan masyarakat hingga satu generasi berikutnya. Umumnya mereka yang masih anak-anak pada masa itu tumbuh menjadi orang yang dimanjakan oleh ekonomi cengkeh yang cerah. Mereka dibesarkan dalam suasana berkecukupan dan melimpah tenaga kerja pemetik cengkeh.
Saat ini, ketika mereka telah menjadi orangtua, tampaknya kemanjaan itu berkelanjutan; mereka tidak bersimbah keringat untuk mengurus cengkeh. Mereka hanya menunggu panen cengkeh tua yang kian hari kian menurun hasilnya. Bahkan sebagian tanaman itu telah mati. Dinas Perkebunan Kabupaten Simeulue mencatat bahwa saat ini seluas 2127,3 Ha telah mati. Total pendapatan yang hilang dari kematian tanaman itu diperkirakan mencapai sekitar 13 milyar rupiah (Koran Simeulue, Edisi No 07/Maret 2007).
Mereka juga tidak begitu terdorong untuk mengurus (termasuk meremajakan) cengkeh karena harga cengkeh sangat tajam berfluktuasi. Tanaman lain yang banyak dilirik adalah pala dan menyusul cacao. Namun tanaman ini dimaksud bukan sebagai pengganti cengkeh yang sudah tua, melainkan ditanam pada lahan lain.

Adaptasi
Pengabaian terhadap tanaman cengkeh bukan masalah baru. Ini justru masalah lama yang ternyata amat sulit bagi kita, bahkan tidak dapat diselesaikan kebanyakan pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Bagi masyarakat, tindakan itu justru dipandang sebagai alternatif yang sehat sebagai upaya adaptasi terhadap kecenderungan pasar yang tidak pernah memihak pada petani. Penanaman baru cengkeh malahan bisa dipandang sebagai tindakan spekulatif atau judi. Apalagi, warga masyarakat telah kehabisan tabungan yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli bibit dan biaya perawatan selama masa menunggu tanaman bisa dipanen.
Situasi tersebut seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Perlakuan awal yang diperlukan adalah menyangkut pertanyaaan: ”Kapankah pemerintah daerah mampu bertindak sebagai penyangga dalam pemasaran komoditas rakyat (dalam artian yang sebenarnya) ?”. Selanjutnya adalah penguatan kelompok-kelompok masyarakat desa untuk berinteraksi dengan pasar. Kelompok-kelompok ini bisa berupa assosiasi, misalnya assosiasi cengkeh, assosiasi cokelat atau assosiasi lainnya. Penguatan kelompok ini berkaitan dengan upaya-upaya seperti penyadaran manfaat kelompok, solusi konflik, managemen keuangan, pemasaran hingga networking (pembentukan jaringan). Ini prosesnya membutuhkan waktu yang panjang dan pasti memerlukan energi, ketekunan dan dana besar. Seharusnya, pemerintah sejak sekarang sudah memiliki program yang berkelanjutan yang lebih memberikan pendampingan berorientasi proses ketimbang target formal. Proyeknya tidak harus berskala besar, namun harus dapat memberikan bukti nyata yang langsung dilihat dan dirasakan masyarakat. Dengan demikian, dapat menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat dalam berusaha.

Pemda dan NGOs
Dalam melaksanakan kegiatan itu, pemerintah daerah dapat bermitra dengan berbagai NGOs yang kini bekerja di Simeulue. Umumnya NGOs di Simeulue memiliki program dalam bidang pengembangan ekonomi dan pertanian. Kemitraan ini diharapkan dapat menciptakan kondidi saling mengisi antara pemerintah daerah dan NGOs. Daya jelajah di lapangan maupun dana umumnya dimiliki NGOs sedangkan pemerintah daerah memiliki tenaga-tenaga di pedesaan yang dapat mendorong partisipasi masyarakat. Keterlibatan para personil pemerintah daerah di lapangan diharapkan juga dapat dijadikan sebagai persiapan manakala proyek-proyek NGOs akan ditinggal pergi oleh mereka sehubungan dengan time-frame yang tersedia.
Hingga saat ini, terasa masih kurang optimal kerjasama antara pemerintah daerah dengan NGOs dikarenakan agenda kerja yang berbeda. Ini dapat dihindarkan dengan menyelenggarakan kordinasi regular antara pemerintah daerah dengan seluruh NGOs yang ada di Simeulue. Sehingga para pejabat pemeritah benar-benar memahami peta kegiatan dan permasalahan yang dihadapi di lapangan. Pada gilirannya, ketika NGOs akan mengakhiri kegiatannya, dinas-dinas atau jajaran pemeritah daerah telah siap untuk melanjutkan program-program yang telah diselenggarakan. Percepatan proses pembangunan Simeulue sebenarnya dapat lebih dipacu dari kegiatan ini.

Saturday, March 10, 2007

PILAR PEMBANGUNAN SIMEULUE

Masalah utama pembangunan Pulau Simeulue adalah bagaimana menghubungkan produk pulau tersebut dengan pasar. Potensi pertanian dan laut yang demikian besar hanya mungkin terasa manfaatnya jika terdapat pasar yang menampung hasilnya. Sementara itu, potensi pada sektor pariwisata tampaknya masih terlalu jauh untuk dapat diharapkan mengingat begitu beragamnya dan complicated-nya fasilitas pendukung yang masih perlu dibenahi. Tidak mengherankan, jika tidak ada satu pun lembaga donor internasional pun yang kini menjalankan misinya di pulau Simeulue menyentuh sektor pariwisata sebagai programnya.

Membangun Komitmen
Bagian awal rekomendasi untuk pembangunan pulau Simeulue adalah membangun komitmen setiap pihak yang bersedia. Komitmen ini bahkan dapat dianggap sebagai fondasi program pembangunan pulau ini. Begitu banyak yang harus dilakukan dan semuanya membutuhkan ketekunan dan kehati-hatian agar tidak salah arah. Perlu empaty dan pengabdian bagi siapa pun yang akan bekerja untuk memajukan kehidupan 75,000 jiwa penduduk pulau tersebut. Sebenarnya, merupakan fakta yang mengejutkan jika pada kenyataannya sebagian besar rumah tangga warga Simeulue masih cenderung berada pada tahapan ekonomi subsistence. Pada beberapa desa masih terdapat perdagangan ala barter. Hasil tangkapan ikan misalnya dibarter dengan kebutuhan sehari-hari rumah tangga.
Enam puluh tahun kemerdekaan Republik Indonesia ternyata masih menyisakan wilayah-wilayah yang menurut kategori Alvin W. Toffler pada bukunya ”Third Wave” berada pada kategori awal ”gelombang kedua”. Kondisi wilayah Kecamatan Alafan bahkan lebih parah. Akibat hantaman gelombang tsunami yang hampir menyapu bersih harta dan pemukiman masyarakat, kini mereka masih dalam proses memulai kehidupan berangkat hampir dari titik nol.
Pejabat pemerintah yang bertugas di pulau ini sebaiknya tidak usah berangan-angan dulu mendapat fasilitas untuk hidup nyaman.

Membangun Infrastruktur
Membangun infrastruktur berupa jalan raya dan hubungan komunikasi menjadi pokok lanjutan dari upaya untuk membawa pulau Simeulue menuju masa depannya. Dengan sistem jalan raya dan komunikasi yang lancar antartempat dalam pulau dan sistem transportasi udara/laut antara pulau dengan wilayah luar diharapkan dapat terbentuk jaringan hubungan ekonomi pulau dan dengan wilayah-wilayah yang telah maju di Sumatera seperti Medan (ditambah Singkil dan Sibolga), Banda Aceh (ditambah Meulaboh), serta Padang (ditambah Pekanbaru dan Batam).
Idealnya, pulau Simeulue dapat berfungsi sebagai pemasok kebutuhan konsumsi dan bahan mentah industri di kota Medan, Banda Aceh dan Padang. Sebaliknya pulau Simeulue berfungsi sebagai pasar untuk hasil industri kota-kota besar di pulau Sumatera.
Karena itu, gagasan untuk membuat jalan lingkar Simeulue (yang akan menghubungkan sebagian besar desa/kota di Simeulue) merupakan hasil pemikiran yang paling mendasar untuk memacu ekonomi dan pembangunan Simeulue. Biaya besar untuk mewujudkan sistem transportasi darat yang mencakup demikian banyak jembatan kecil maupun besar membutuhkan biaya yang besar. Untungnya, biaya pengerasan jalan relatif murah karena untuk tahap awal masih dapat mengandalkan jalan pengerasan yang terbuat dari tanah kapur hasil lapukan karang. Jalan-jalan pengerasan saja sudah dapat dijadikan sebagai jalan penghubung yang memadai. Tidak seperti pulau lain yang cenderung membutuhkan pasokan batu, kerikil, pasir dan aspal yang lebih banyak karena kondisi dataran yang mudah berlumpur. Pulau Simeulue justru tersedia batu, kerikil dan pasir yang melimpah ruah.

Membangun Modal Sosial
Aspek lain adalah membangun modal sosial masyarakat Simeulue. Pembangunan dibidang ini membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga yang memiliki dedikasi tinggi. Dasarnya adalah pendidikan dasar dan tinggi bagi generasi muda serta pendidikan orang dewasa dalam bentuk pendampingan dalam mengelola usaha. Kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat perlu dibangun agar ketika mereka telah tersentuh oleh pasar yang berjalan menurut logika untung-rugi tidak serta merta menyebabkan mereka melulu sebagai sapi perahan namun tampil sebagai pelaku ekonomi yang memiliki posisi tawar-menawar yang kuat. Kelembagaan seperti koperasi maupun assosiasi-assosiasi menurut aktivitas ekonomi yang dilakoni (pertanian, nelayan dan industri kecil) perlu diperkuat dengan dampingan tenaga yang memiliki komitmen membangun Simeulue.
Seharusnya, berbagai lembaga internasional yang ikut ambil bagian membantu Aceh melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi dapat berkoordinasi dengan pemerintah dalam membangun Simeulue. Lembaga-lembaga bantuan internasional yang puluhan jumlahnya setidaknya dapat berkomunikasi dan bekerjasama dengan pemerintah untuk menyediakan data-base pembangunan Simeulue di luar agenda yang telah ditetapkan masing-masing. Dengan data ini diharapkan rencana pembangunan yang dibuat dapat secara detil memperhitungkan kondisi real yang ada, termasuk kecenderungan-kecenderungan perilaku sosial masyarakat.
Masing-masing pilar yang dikemukakan di atas, selanjutnya harus disangga oleh 3 (tiga) prinsip, yakni partisipasi, desentralisasi dan privatisasi. Dengan mengenakan ketiga prinsip tersebut pada pembangunan masing-masing pilar di atas, dimaksudkan bahwa pembangunan wilayah pulau Simeulue akhirnya tidak boleh didominasi sepenuhnya oleh pemerintah yang akhirnya akan meningkatkan ketergantungan masyarakat sebagaimana kecenderungan ini terjadi dalam banyak kasus pembangunan daerah.
Jalan panjang dan berliku tampaknya harus ditempuh oleh masyarakat Simeulue dalam menapak menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, lapisan yang paling mendasar adalah pemerintah kabupaten Simeulue dan masyarakatnya. Mereka harus lebih kompak.