Monday, July 2, 2007

Potensi Pariwisata Pulau Simeulue Sulit Diekploitasi jika...

Adakah potensi pariwisata di Pulau Simeulue ? Semua orang pasti menjawab: “Ya ada”. Namun, ketika ditanyakan, dapatkah potensi tersebut dieksploitasi untuk mendongkrak ekonomi pulau ini, maka jawabannya adalah “sulit dikembangkan”. Ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan, yakni menyangkut jarak, persepsi tentang pariwisata dan kebijakan (policies).
Tulisan ini tidak bermaksud “membunuh” semangat orang maupun pemerintah dalam membangun pariwisata Simeulue. Melainkan untuk mengingatkan segenap pihak bahwa demikian banyak kendala-kendala yang harus dihadapi ketika berencana untuk mengembangkan industri wisata di pulau ini. Kendala-kendala yang dimaksud relatif lebih berat dibandingkan daerah lain, sehingga dibutuhkan energi dan komitmen lebih besar untuk menghadapinya. Jika energi dan komitmen tidak cukup, maka lebih baik buang jauh-jauh niat untuk membangun pariwisata di Simeulue. Bahkan, jangan-jangan, Dinas Pariwisata pun lebih baik dilebur dengan dinas lain untuk menjalankan tugas yang lebih bertautan dengan kepentingan masyarakat.

Jarak
Pulau Simeulue merupakan pulau terpencil. Ini suatu fakta yang tidak perlu diperdebatkan. Kabupaten Aceh Barat, ketika masih memiliki Pulau Simeulue sebagai bagian wilayahnya kemungkinan besar tidak memiliki energi yang cukup untuk mengatasi jarak geografis ini sehingga cenderung membiarkan Simeulue sebagai pulau terbelakang yang minus infrastruktur. Untunglah, ada sekelompok orang yang berani memperjuangkan pulau ini menjadi sebuah Kabupaten.
Jika berangkat dari Medan menuju Simeulue maka waktu yang dibutuhkan untuk melampaui laut lebih lama daripada daratan. Disamping itu, laut yang memisahkan daratan Sumatera dengan Simeulue sering memiliki gelombang besar sehingga sulit dilayari. Salah satu penyebab mengapa kelangkaan BBM sering terjadi adalah karena kapal pengangkut BBM tidak mampu melewati gelombang laut yang besar tersebut.
Artinya, jika Simeulue dijadikan sebagai tujuan wisata oleh pelancong maka angkutan yang paling lancar dan nyaman adalah pesawat terbang. Ini pun masih dengan catatan cuaca tidak buruk ! Dapat dibayangkan, betapa untuk menuju pulau ini saja orang-orang harus terlebih dulu bolak-balik berpikir tentang angkutan yang harus digunakan dengan segala pertimbangan menyangkut uang dan waktu.

Persepsi tentang Pariwisata
Ingat pariwisata, maka tak dapat dihindari orang akan tergoda dengan tumpukan dollar yang digunakan pelancong asing dalam transaksi. Setiap pelaku industri wisata masih lebih melirik pelancong asing ketimbang domestik. Maka tantangan yang dihadapi adalah menyangkut kemampuan memberikan fasilitas dan pelayanan kepada pelancong mancanegara yang seleranya tentu berbeda dengan kebiasaan sehari-hari orang Simeulue dalam memberikan pelayanan publik. Kemampuan memberikan pelayanan adalah tindakan. Sedangkan tindakan adalah produk dari cara berfikir atau sikap yang sangat erat kaitannya dengan persepsi.
Soalnya adalah bagaimanakah persepsi rata-rata masyarakat Simeulue tentang pariwisata ? Pentingkah pariwisata menurut pendapat, perasaan dan pikiran mereka ? Adakah kesadaran pada masyarakat wilayah ini tentang kemampuan industri pariwisata dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan merangsang perubahan ? Tidakkah masyarakat justru sangat kuatir terhadap kehadiran orang-orang luar yang kemungkinan mempengaruhi tata laku hidup masyarakat pulau ini ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas layak diajukan untuk direnungi sebelum diambil langkah-langkah untuk membangun sektor pariwisata. Ketika rata-rata masyarakat Simeulue memang bersikap positif terhadap kegiatan pariwisata, maka tindakan selanjutnya adalah menyusun kebijakan pemerintahan dalam membangun sektor pariwisata. Berdasarkan kebijakan yang dimaksud perlu disusun perencanaan strategik pembangunan pariwisata pulau ini. Pemerintah hendaknya menggugah partisipasi masyarakat dalam kegiatan tersebut dengan pertimbangan bahwa pelaku-pelaku kegiatan wisata akhirnya adalah masyarakat juga.
Dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana masyarakat harus melihat kegiatan wisata sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rasa kuatir yang berlebihan tentang kemungkinan pengaruh negatif pariwisata terhadap tata laku masyarakat perlu ditepis dengan mengedepankan kegiatan penyadaran dan pembinaan wisata terhadap masyarakat. Masyarakat Simeulue tidak perlu menutupi segala kelebihan dan kebaikan yang mereka miliki. Sebaliknya, harus membuka diri dengan menunjukkan segala nilai-nilai keindahan dan kebajikan yang terkandung dalam dirinya terhadap masyarakat pelancong. Simeulue yang ramah dan aman tanpa pencoleng perlu ditunjukkan kepada setiap pengunjung. Ketaatan pada nilai-nilai agama sambil menunjukkan rasa persaudaraan dengan pendatang pasti dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat.

Kebijakan Pemerintah
Mari kita telaah bersama. Apakah pemerintah daerah telah memiliki kebijakan tertentu dalam mendongkrak sektor pariwisata pulau Simeulue ? Berapa banyakkah dana yang disisihkan pemerintah untuk membenahi dan membina spot wisata dan atraksi budaya yang dimiliki ?
Jika semuanya belum dimiliki, atau belum cukup dimiliki maka itu menjadi pertanda bahwa masyarakat melalui wakil-wakilnya sudah saatnya mendesak pemerintah untuk memberikan perhatian yang cukup terhadap sektor yang tidak pernah dilewatkan gegitu saja oleh pemerintah daerah lain ini. Dukungan awal yang dapat diberikan oleh masyarakat adalah membenahi lingkungannya menjadi wilayah-wilayah yang bersih, indah dan aman bagi para pendatang.
Pemerintah juga perlu memberikan dukungan berupa kemudahan bagi setiap anggota yang berniat mengembangkan usahanya pada sektor pariwisata. Wisata pantai, bersilancar, jungle trip, dan kegiatan berburu binatang pengganggu tanaman rakyat agaknya dapat dipertimbangkan sebagai item wisata yang segera perlu dikembangkan.
Dengan beberapa uraian di atas, tampaklah tantangan-tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan pariwisata Simeulue. Itu pula menjadi sebab mengapa pariwisata Simeulue sulit dieksploitasi jika tidak ada keinginan dan komitmen pada semua pihak, pemerintah daerah maupun anggota masyarakat.
Kalau keinginan dan komitmen telah dimiliki maka tentu perlu dimulai tindakan-tindakan yang diperlukan. Dan setelah itu, segera saja segenap pelaku bisnis wisata mulai berpromosi kunjungan wisata ke pulau terpencil yang indah dan aman, tempat bersahaja dan tentram dari segala kesibukan serta penyakit kota-kota besar. Kita semua segera dapat berujar kepada setiap kenalan: Datanglah ke Simeulue, perawan di tengah Samudera Hindia...

Bilakah Cengkeh Bersemi Lagi?

Pada tahun 1970an, Pulau Simeulue sempat terkenal sebagai pulau cengkeh. Tanaman yang pernah disebut sebagai ”emas hijau” itu memang tumbuh menggerombol di hampir seluruh wilayah pulau ini dan sebagian lagi di pulau-pulau kecil sekitarnya. Hingga kini, tanaman tersebut masih tetap tumbuh dan menua menjadi peninggalan sebuah zaman keemasan..
Namun, sepotong pertanyaan akan mengusik benak setiap orang yang baru menginjakkan kaki di pulau ini: Mengapa cengkeh-cengkeh itu kini seolah-olah ditinggalkan dan tidak terurus layaknya laksana hutan perawan yang tak pernah disentuh ? Jawabannya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nasib kebun-kebun cengkeh rakyat di seluruh penjuru tanah air. Bahwa sejak tahun 1984 nasib komoditi pertanian cengkeh mengalami bencana fluktuasi harga yang sangat tajam. Ketika harga naik, harga bisa sangat menguntungkan. Namun ketika harga turun, upah buruh pemetik pun tidak dapat dilunasi oleh hasil penjualan.
Kini tanaman cengkeh di pulau Simeulue adalah tanaman renta yang tertatih-tatih seiring dengan usianya dan hanya menghasilkan buah yang jauh dari yang diharapkan. Umumnya, tanaman cengkeh yang ada saat ini hanya dapat dipanen sekali dalam dua tahun. Bahkan, ada diantaranya hanya dipanen sekali dalam lima tahun.
Masyarakat terlihat tidak begitu bergairah untuk melakukan peremajaan tanaman cengkeh. Mereka juga tampaknya tidak terlalu bergairah untuk menebang tanaman itu dan menggantinya dengan tanaman lain. Apakah ini menjadi sebuah masalah khusus dalam cerita pembangunan pedesaan di Indonesia ?

Generasi Manja
Sesuatu yang perlu dicermati, bahwa cengkeh telah memberikan sekeping potongan warna pada mozaik masyarakat Simeulue. Tanaman itu ditanam berkat kegigihan penghuni pulau ini satu generasi sebelumnya. Ditanam tidak hanya di tanah datar yang mudah dijangkau, tetapi hingga ke lembah dan gunung-gunung yang harus menembus semak dan hutan. Dengan harga yang demikian mahal pada masa itu, tanaman ini benar-benar telah memanjakan masyarakat hingga satu generasi berikutnya. Umumnya mereka yang masih anak-anak pada masa itu tumbuh menjadi orang yang dimanjakan oleh ekonomi cengkeh yang cerah. Mereka dibesarkan dalam suasana berkecukupan dan melimpah tenaga kerja pemetik cengkeh.
Saat ini, ketika mereka telah menjadi orangtua, tampaknya kemanjaan itu berkelanjutan; mereka tidak bersimbah keringat untuk mengurus cengkeh. Mereka hanya menunggu panen cengkeh tua yang kian hari kian menurun hasilnya. Bahkan sebagian tanaman itu telah mati. Dinas Perkebunan Kabupaten Simeulue mencatat bahwa saat ini seluas 2127,3 Ha telah mati. Total pendapatan yang hilang dari kematian tanaman itu diperkirakan mencapai sekitar 13 milyar rupiah (Koran Simeulue, Edisi No 07/Maret 2007).
Mereka juga tidak begitu terdorong untuk mengurus (termasuk meremajakan) cengkeh karena harga cengkeh sangat tajam berfluktuasi. Tanaman lain yang banyak dilirik adalah pala dan menyusul cacao. Namun tanaman ini dimaksud bukan sebagai pengganti cengkeh yang sudah tua, melainkan ditanam pada lahan lain.

Adaptasi
Pengabaian terhadap tanaman cengkeh bukan masalah baru. Ini justru masalah lama yang ternyata amat sulit bagi kita, bahkan tidak dapat diselesaikan kebanyakan pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Bagi masyarakat, tindakan itu justru dipandang sebagai alternatif yang sehat sebagai upaya adaptasi terhadap kecenderungan pasar yang tidak pernah memihak pada petani. Penanaman baru cengkeh malahan bisa dipandang sebagai tindakan spekulatif atau judi. Apalagi, warga masyarakat telah kehabisan tabungan yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli bibit dan biaya perawatan selama masa menunggu tanaman bisa dipanen.
Situasi tersebut seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Perlakuan awal yang diperlukan adalah menyangkut pertanyaaan: ”Kapankah pemerintah daerah mampu bertindak sebagai penyangga dalam pemasaran komoditas rakyat (dalam artian yang sebenarnya) ?”. Selanjutnya adalah penguatan kelompok-kelompok masyarakat desa untuk berinteraksi dengan pasar. Kelompok-kelompok ini bisa berupa assosiasi, misalnya assosiasi cengkeh, assosiasi cokelat atau assosiasi lainnya. Penguatan kelompok ini berkaitan dengan upaya-upaya seperti penyadaran manfaat kelompok, solusi konflik, managemen keuangan, pemasaran hingga networking (pembentukan jaringan). Ini prosesnya membutuhkan waktu yang panjang dan pasti memerlukan energi, ketekunan dan dana besar. Seharusnya, pemerintah sejak sekarang sudah memiliki program yang berkelanjutan yang lebih memberikan pendampingan berorientasi proses ketimbang target formal. Proyeknya tidak harus berskala besar, namun harus dapat memberikan bukti nyata yang langsung dilihat dan dirasakan masyarakat. Dengan demikian, dapat menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat dalam berusaha.

Pemda dan NGOs
Dalam melaksanakan kegiatan itu, pemerintah daerah dapat bermitra dengan berbagai NGOs yang kini bekerja di Simeulue. Umumnya NGOs di Simeulue memiliki program dalam bidang pengembangan ekonomi dan pertanian. Kemitraan ini diharapkan dapat menciptakan kondidi saling mengisi antara pemerintah daerah dan NGOs. Daya jelajah di lapangan maupun dana umumnya dimiliki NGOs sedangkan pemerintah daerah memiliki tenaga-tenaga di pedesaan yang dapat mendorong partisipasi masyarakat. Keterlibatan para personil pemerintah daerah di lapangan diharapkan juga dapat dijadikan sebagai persiapan manakala proyek-proyek NGOs akan ditinggal pergi oleh mereka sehubungan dengan time-frame yang tersedia.
Hingga saat ini, terasa masih kurang optimal kerjasama antara pemerintah daerah dengan NGOs dikarenakan agenda kerja yang berbeda. Ini dapat dihindarkan dengan menyelenggarakan kordinasi regular antara pemerintah daerah dengan seluruh NGOs yang ada di Simeulue. Sehingga para pejabat pemeritah benar-benar memahami peta kegiatan dan permasalahan yang dihadapi di lapangan. Pada gilirannya, ketika NGOs akan mengakhiri kegiatannya, dinas-dinas atau jajaran pemeritah daerah telah siap untuk melanjutkan program-program yang telah diselenggarakan. Percepatan proses pembangunan Simeulue sebenarnya dapat lebih dipacu dari kegiatan ini.