Monday, July 2, 2007

Bilakah Cengkeh Bersemi Lagi?

Pada tahun 1970an, Pulau Simeulue sempat terkenal sebagai pulau cengkeh. Tanaman yang pernah disebut sebagai ”emas hijau” itu memang tumbuh menggerombol di hampir seluruh wilayah pulau ini dan sebagian lagi di pulau-pulau kecil sekitarnya. Hingga kini, tanaman tersebut masih tetap tumbuh dan menua menjadi peninggalan sebuah zaman keemasan..
Namun, sepotong pertanyaan akan mengusik benak setiap orang yang baru menginjakkan kaki di pulau ini: Mengapa cengkeh-cengkeh itu kini seolah-olah ditinggalkan dan tidak terurus layaknya laksana hutan perawan yang tak pernah disentuh ? Jawabannya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nasib kebun-kebun cengkeh rakyat di seluruh penjuru tanah air. Bahwa sejak tahun 1984 nasib komoditi pertanian cengkeh mengalami bencana fluktuasi harga yang sangat tajam. Ketika harga naik, harga bisa sangat menguntungkan. Namun ketika harga turun, upah buruh pemetik pun tidak dapat dilunasi oleh hasil penjualan.
Kini tanaman cengkeh di pulau Simeulue adalah tanaman renta yang tertatih-tatih seiring dengan usianya dan hanya menghasilkan buah yang jauh dari yang diharapkan. Umumnya, tanaman cengkeh yang ada saat ini hanya dapat dipanen sekali dalam dua tahun. Bahkan, ada diantaranya hanya dipanen sekali dalam lima tahun.
Masyarakat terlihat tidak begitu bergairah untuk melakukan peremajaan tanaman cengkeh. Mereka juga tampaknya tidak terlalu bergairah untuk menebang tanaman itu dan menggantinya dengan tanaman lain. Apakah ini menjadi sebuah masalah khusus dalam cerita pembangunan pedesaan di Indonesia ?

Generasi Manja
Sesuatu yang perlu dicermati, bahwa cengkeh telah memberikan sekeping potongan warna pada mozaik masyarakat Simeulue. Tanaman itu ditanam berkat kegigihan penghuni pulau ini satu generasi sebelumnya. Ditanam tidak hanya di tanah datar yang mudah dijangkau, tetapi hingga ke lembah dan gunung-gunung yang harus menembus semak dan hutan. Dengan harga yang demikian mahal pada masa itu, tanaman ini benar-benar telah memanjakan masyarakat hingga satu generasi berikutnya. Umumnya mereka yang masih anak-anak pada masa itu tumbuh menjadi orang yang dimanjakan oleh ekonomi cengkeh yang cerah. Mereka dibesarkan dalam suasana berkecukupan dan melimpah tenaga kerja pemetik cengkeh.
Saat ini, ketika mereka telah menjadi orangtua, tampaknya kemanjaan itu berkelanjutan; mereka tidak bersimbah keringat untuk mengurus cengkeh. Mereka hanya menunggu panen cengkeh tua yang kian hari kian menurun hasilnya. Bahkan sebagian tanaman itu telah mati. Dinas Perkebunan Kabupaten Simeulue mencatat bahwa saat ini seluas 2127,3 Ha telah mati. Total pendapatan yang hilang dari kematian tanaman itu diperkirakan mencapai sekitar 13 milyar rupiah (Koran Simeulue, Edisi No 07/Maret 2007).
Mereka juga tidak begitu terdorong untuk mengurus (termasuk meremajakan) cengkeh karena harga cengkeh sangat tajam berfluktuasi. Tanaman lain yang banyak dilirik adalah pala dan menyusul cacao. Namun tanaman ini dimaksud bukan sebagai pengganti cengkeh yang sudah tua, melainkan ditanam pada lahan lain.

Adaptasi
Pengabaian terhadap tanaman cengkeh bukan masalah baru. Ini justru masalah lama yang ternyata amat sulit bagi kita, bahkan tidak dapat diselesaikan kebanyakan pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Bagi masyarakat, tindakan itu justru dipandang sebagai alternatif yang sehat sebagai upaya adaptasi terhadap kecenderungan pasar yang tidak pernah memihak pada petani. Penanaman baru cengkeh malahan bisa dipandang sebagai tindakan spekulatif atau judi. Apalagi, warga masyarakat telah kehabisan tabungan yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli bibit dan biaya perawatan selama masa menunggu tanaman bisa dipanen.
Situasi tersebut seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah. Perlakuan awal yang diperlukan adalah menyangkut pertanyaaan: ”Kapankah pemerintah daerah mampu bertindak sebagai penyangga dalam pemasaran komoditas rakyat (dalam artian yang sebenarnya) ?”. Selanjutnya adalah penguatan kelompok-kelompok masyarakat desa untuk berinteraksi dengan pasar. Kelompok-kelompok ini bisa berupa assosiasi, misalnya assosiasi cengkeh, assosiasi cokelat atau assosiasi lainnya. Penguatan kelompok ini berkaitan dengan upaya-upaya seperti penyadaran manfaat kelompok, solusi konflik, managemen keuangan, pemasaran hingga networking (pembentukan jaringan). Ini prosesnya membutuhkan waktu yang panjang dan pasti memerlukan energi, ketekunan dan dana besar. Seharusnya, pemerintah sejak sekarang sudah memiliki program yang berkelanjutan yang lebih memberikan pendampingan berorientasi proses ketimbang target formal. Proyeknya tidak harus berskala besar, namun harus dapat memberikan bukti nyata yang langsung dilihat dan dirasakan masyarakat. Dengan demikian, dapat menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat dalam berusaha.

Pemda dan NGOs
Dalam melaksanakan kegiatan itu, pemerintah daerah dapat bermitra dengan berbagai NGOs yang kini bekerja di Simeulue. Umumnya NGOs di Simeulue memiliki program dalam bidang pengembangan ekonomi dan pertanian. Kemitraan ini diharapkan dapat menciptakan kondidi saling mengisi antara pemerintah daerah dan NGOs. Daya jelajah di lapangan maupun dana umumnya dimiliki NGOs sedangkan pemerintah daerah memiliki tenaga-tenaga di pedesaan yang dapat mendorong partisipasi masyarakat. Keterlibatan para personil pemerintah daerah di lapangan diharapkan juga dapat dijadikan sebagai persiapan manakala proyek-proyek NGOs akan ditinggal pergi oleh mereka sehubungan dengan time-frame yang tersedia.
Hingga saat ini, terasa masih kurang optimal kerjasama antara pemerintah daerah dengan NGOs dikarenakan agenda kerja yang berbeda. Ini dapat dihindarkan dengan menyelenggarakan kordinasi regular antara pemerintah daerah dengan seluruh NGOs yang ada di Simeulue. Sehingga para pejabat pemeritah benar-benar memahami peta kegiatan dan permasalahan yang dihadapi di lapangan. Pada gilirannya, ketika NGOs akan mengakhiri kegiatannya, dinas-dinas atau jajaran pemeritah daerah telah siap untuk melanjutkan program-program yang telah diselenggarakan. Percepatan proses pembangunan Simeulue sebenarnya dapat lebih dipacu dari kegiatan ini.

No comments: